Dalam fitrahnya, manusia selalu mencari rasa aman dan identitas dalam sebuah kelompok. Mulai dari keluarga, suku, bangsa, hingga afiliasi keagamaan, kebersamaan memberikan rasa memiliki yang menenangkan. Namun, kecenderungan ini sering kali melahirkan klaim eksklusif yang berbahaya: "Hanya golonganku yang benar," dan secara implisit, "Hanya golonganku yang pasti selamat."
Sikap ini, meski tampak menguatkan identitas, sejatinya bertentangan dengan esensi pesan Al-Qur'an dan Sunnah. Jika ditelusuri lebih dalam, ajaran Islam meletakkan dua pilar kebenaran yang tampak berseberangan namun saling melengkapi: pertanggungjawaban di hari akhir adalah murni urusan individu, dan pada saat yang sama, ada satu jalan kebenaran yang lurus.
Artikel ini akan mengupas bagaimana kedua prinsip ini menyatu, mengarahkan kita pada pemahaman yang utuh tentang konsep keselamatan dalam Islam.
Bagian I: Penegasan Tanggung Jawab Individual
Al-Qur'an secara tegas dan berulang kali menggambarkan bahwa pada Hari Kiamat, semua atribut, status, dan keanggotaan kelompok yang dibanggakan di dunia akan luruh tak bersisa. Pertanggungjawaban akan bersifat mutlak personal.
1. Kebangkitan yang Personal: Datang Sendiri-Sendiri
Ilusi bahwa kita akan dibangkitkan bersama rombongan atau di bawah panji organisasi kita dihancurkan oleh firman Allah SWT:
"Dan setiap orang dari mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri." (QS. Maryam [19]: 95)
Setiap jiwa akan berdiri sendirian di hadapan Sang Pencipta. Suasana yang sangat personal ini ditegaskan kembali dalam ayat lain, di mana fokus setiap orang hanyalah pada nasibnya sendiri:
"(Ingatlah) suatu hari (ketika) setiap orang datang untuk membela dirinya sendiri dan bagi setiap orang disempurnakan (balasan) apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka tidak dizalimi (dirugikan)." (QS. An-Nahl [16]: 111)
Frasa "membela dirinya sendiri" (tujādilu 'an nafsihā) menunjukkan bahwa tidak akan ada pengacara, juru bicara kelompok, atau pemimpin yang dapat mewakili kita. Yang ada hanyalah diri kita dan amalan kita.
2. Putusnya Semua Ikatan Duniawi
Untuk lebih menekankan individualitas hari itu, Al-Qur'an menjelaskan bahwa semua ikatan sosial dan kekerabatan yang menjadi sandaran di dunia akan terputus total.
"Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya." (QS. Al-Mu'minun [23]: 101)
Bahkan ikatan paling primer—keluarga—tidak lagi berguna. Dalam ketakutan yang mencekam, manusia bahkan akan lari dari orang-orang terdekatnya, karena urusan pribadinya sudah terlalu berat untuk memikirkan orang lain.
"Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya." (QS. 'Abasa [80]: 34-37)
Jika keluarga inti saja ditinggalkan, bagaimana mungkin seseorang berharap pada afiliasi organisasi, mazhab, atau golongan untuk memberinya pertolongan?
3. Timbangan Amal (Mīzān): Penentu Keadilan Mutlak
Setelah setiap orang datang sendiri, apa yang menjadi dasar penilaian? Jawabannya jelas dan objektif: timbangan amal (mīzān).
"Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam." (QS. Al-Mu'minun [23]: 102-103)
Keselamatan terikat langsung pada "berat" atau "ringannya" timbangan amal pribadi. Kriteria ini adil dan tidak memihak. Allah tidak akan bertanya, "Apa nama kelompokmu?" melainkan, "Apa saja yang telah engkau perbuat?".
Sebuah Hadis Qudsi dalam Arba'in An-Nawawi menyimpulkan poin ini dengan sempurna. Allah SWT berfirman:
"Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya itu hanyalah amalan-amalanmu yang Aku catat untukmu, kemudian Aku akan memberikan balasan kepadamu. Maka barangsiapa mendapat kebaikan, hendaklah ia memuji Allah. Dan barangsiapa mendapat selain itu, janganlah ia menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri." (HR. Muslim)
Pesan ini adalah panggilan untuk introspeksi. Namun, di sini mungkin timbul pertanyaan: jika semua murni individual, lalu bagaimana memahami hadis tentang adanya satu golongan yang selamat?
Bagian II: Memahami Konsep "Satu Golongan yang Selamat"
Di tengah penekanan pada tanggung jawab pribadi, terdapat dalil yang mengisyaratkan adanya satu jalan kebenaran kolektif. Bagaimana kita mendamaikan keduanya? Jawabannya terletak pada pemahaman bahwa "kelompok yang selamat" bukanlah sebuah organisasi formal, melainkan sebuah manhaj (metodologi) yang harus ditempuh oleh setiap individu.
Dalil utama yang sering dirujuk adalah hadis tentang perpecahan umat:
"...dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. Semuanya di dalam neraka kecuali satu." Para sahabat bertanya, "Siapakah golongan yang satu itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Mereka adalah yang mengikuti jalanku dan para sahabatku (ما أنا عليه وأصحابي)." (HR. Tirmidzi, dinilai hasan).
Perhatikan baik-baik definisi dari golongan tersebut. Ia tidak merujuk pada sebuah nama, melainkan pada kriteria dan tolok ukur: kesesuaian akidah, ibadah, dan akhlak dengan apa yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya. Ini bukan lisensi bagi kelompok modern manapun untuk menunjuk diri, melainkan sebuah cermin bagi setiap individu untuk bertanya: "Apakah jalan hidupku sudah sesuai standar ini?"
Hal ini diperkuat oleh firman Allah:
"Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin (سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ), Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam..." (QS. An-Nisa [4]: 115)
"Jalan orang-orang mukmin" (sabīl al-mu'minīn) merujuk pada jalan para sahabat. Dengan demikian, Al-Qur'an dan Hadis selaras dalam menetapkan bahwa jalan keselamatan adalah jalan Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya.
Bagian III: Sintesis - Jalan Kolektif, Perjuangan Individu
Di sinilah kedua pilar kebenaran itu bertemu:
- Benar, ada satu jalan keselamatan yang lurus (Shirāthal Mustaqīm). Jalan ini adalah kerangka atau manhaj kolektif yang benar, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat (para sahabat).
- Namun, untuk bisa berada dan tetap di atas jalan itu adalah pilihan dan usaha setiap individu.
Analogi sederhananya adalah sebuah jalan tol yang aman, lurus, dan dijamin sampai ke tujuan (jalan keselamatan). Di luarnya, ada 72 jalan kecil yang rusak dan buntu (jalan kesesatan).
Informasi tentang adanya "satu jalan tol yang selamat" ini sangat penting agar orang tidak salah jalan. Akan tetapi, sekadar berada di jalan tol itu tidak otomatis menyelamatkan pengemudinya. Setiap pengemudi tetap harus secara individu mematuhi aturan: menyetir dengan benar (ikhlas dan sesuai syariat), mengisi bensin (iman dan takwa), dan tidak celaka karena kelalaian sendiri.
Jika seorang pengemudi berada di jalan tol yang benar, tetapi ia menyetir sambil mabuk dan ugal-ugalan, ia akan celaka karena perbuatan individunya, meskipun ia berada di jalan yang benar.
Kesimpulan: Dari Menghakimi Kelompok ke Evaluasi Diri
Kedua rangkaian dalil ini tidaklah bertentangan, melainkan saling menyempurnakan. Pesan utamanya adalah:
- Hindari fanatisme buta ('asabiyah) terhadap nama kelompok atau organisasi, seolah-olah nama itu adalah jaminan surga. Sebab, pertanggungjawaban di akhirat tetap bersifat individual.
- Namun, jangan pula menganggap semua jalan sama benarnya. Ada satu standar kebenaran, yaitu manhaj yang ditempuh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Tugas setiap Muslim adalah secara individu berjuang untuk meniti jalan tersebut.
Sikap yang benar bukanlah mengatakan, "Kelompokku pasti selamat, kelompokmu celaka." Sikap yang benar adalah terus-menerus bertanya pada diri sendiri: "Apakah keyakinan dan perbuatanku hari ini sudah sesuai dengan jalan Rasulullah dan para sahabatnya?"
Fokusnya bergeser dari sibuk menghakimi orang lain menjadi sibuk mengevaluasi dan memperbaiki diri sendiri. Inilah jalan yang menggabungkan antara keteguhan pada prinsip (manhaj) dan kerendahan hati (tawadhu') sebagai seorang hamba yang akan mempertanggungjawabkan semuanya seorang diri.